BAHAN KULIAH
SOSIOLOGI
PEDESAAN
Oleh:
DRS.
PERIBADI, M.SI
Beberapa Tulisan Ilmiah Populer Dapat dilihat:
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI 2011
TRANSPARANSI KULIAH 1
VARIABEL KAJIAN SOSILOGI
|
||
· HUKUM
· ETIKA
· ATURAN
· AGAMA
· NORMA
· NILAI
· PANCASILA
· KAPITALIS
· SOSIALISME
· FASISME
· DLL
|
SOSIOLOGI
………..?????
· INETRAKSI SOSIAL
· HUBUNGAN SOSIAL
· STRATIFIKASI SOSIAL
· STRUKTUR SOSIAL
· PROSES SOSIAL
· PERUBAHAN SOSIAL
· MASALAH SOSIAL
PERDESAAN???
|
· IDIOLOGI
· POLITIK
· EKONOMI
· SOSIAL
· BUDAYA
· HANKAMNAS
· HANKAMRATA
· PENDIDIKAN
· KETERAMPILAN
· KKN
· SUPREMASI
|
SEBUAH LINGKARAN SETAN YANG TAK BERUJUNG
PANGKAL
|
||
Dalam Order Paradigm >>
dikenal beberapa asumsi dasar yang mendasari, sebagaimana diuraikan Perdue
(1986:43-44) berikut ini :
1. HUMAN NATURE
a.
Manusia
lebih bersifat individualistic (private)
dari pada sosial (publik), cenderung
kompetitif dari pada kooperatif.
b.
Keteraturan
sosial dimungkinkan, karena adanya kekuatan akal sehat (the power of reason) yang ada pada manusia. Egonya Rela diserahkan
pada otoritas sosial guna terciptanya kesatuan (societal cohesion).
c.
Adanya
ketimpangan antar individu adalah wajar terjadi dalam keteraturan kehidupan
sosial.
2. THE NATURE OF SOCIETY:
a.
Kecenderungan
yang mengarah pada ketidakteraturan, jaminan kelangsungan hidup hanya dapat
diciptakan dengan institusi yang kuat dan terintegrasi.
b.
Ketimpangan
personal yang bersifat alamiah, masyarakat yang sehat akan mengatur pembagian
tugas-tugas sehingga tercermin adanya perbedaan bawaan.
c.
Sifat
alamiah masyarakat tercermin pada institusi yang saling bergantung dan menjadi
penghalang perilaku pribadi. Contoh Plato, Dhurkheim, dan lain-lain
melihat masyarakat secara organis. Talcott Parsons menggunakan
metaphor mekanis (sistem). Sifat alamiah masyarakat adalah titik equilibrium.
d.
Institusi
dan norma-norma dapat dipastikan keberadaanya karena adanya consensus.
e.
Akibat
consensus, masyarakat diharapkan mengikuti (conform)
terhadap tatanan yang ada.
f.
Keteraturan
sosial yang absah dan secara alamiah terdapat mekanisme adaptasi dalam sistem
sosial.
g.
Perubahan
sosial yang dipaksakan dianggap berbahaya terhadap kesatuan sosial dan solidaritas.
3. THE NATURE OF SCIENCE
a.
Ada
keteraturan sitematik di dalam kehidupan sosial (the sosial universal) sebagaimana pada alam (the natural universal).
b.
Ilmu
pengetahuan sosial positif (a positive
science of society) mengarahkan penelitian untuk mencari kepastian hubungan
antar berbagai variabel sosial. Sosiologi memiliki persamaan dengan ilmu
pengetahuan alam (natural sciences).
c.
Ilmu
penegetahuan sosial empiris. Pengetahuan
yang didasarkan pada indera dan observasi empiris yang ketat ini menggantikan
rasionalisme objektif yang sangat menekankan pada penalaran murni (Pure reason).
d.
Fakta-fakta
sosial memiliki sifat kuantitatif.
Karena itu, fakta-fakta sosial memungkinkan untuk diukur dengan menggunakan
angka-angka.
e.
Lingkungan
sosial dilihat memiliki lingkup berbeda dan berdiri independen (bebas) dari
lingkungan alam (physical environment).
Namun ilmu pengetahuan sosial tidak harus bersifat unik (berbeda). Sains tidak
merubah keadaan maupun metode-metode hanya karena perbedaan dalam objek kajian (the subject matter).
f.
Hubungan
antar variabel harus dinyatakan dalam bahasa yang jelas dengan menyertakan
terminology yang secara jelas telah didefenisikan. Para ahli modern yang
berpegang pada pendekatan positivistic
menuntut adanya “definisi operasional” yang memungkinkan konsep-konsep
kunci dapat diukur dan dipahami secara utuh oleh mereka yang ingin melakukan
pengetesan proposisi-proposisi teoritiknya, melalui penelitian. Misalnya
bila konsep kunci dalam teori tentang proses belajar adalah << intelligence >> .
Maka definisi operasional <<intelligence>> adalah ukuran-ukuran
yang digunakan dalam test-test intelligence.
Secara, keseluruhan THE ORDER PARADIGM tersebut dapat disimak dalam bagan berikut ini:
PARADIGMATIC ELEMENTS
|
ASSUMPTIONS
|
IDEAL TYPES
|
Image of human nature
|
Reason, self-interest, personal inequality
|
Hobbes’s state of nature
|
Image of society
|
Cohesion, integration, consensus, self correction,
sosial inequality
|
Plato’s republic
|
Image of science
|
Sistematic, positive, empirical, quantitative,
predictive
|
Comte’s positivism Durkheim’s functionalism
|
TRANSPARANSI
KULIAH KE-2 : PENDEKATAN KAJIAN
PEDESAAN
1.
KONSEP
DASAR, ASUMSI POKOK DAN OBYEK KAJIAN
2.
PENDEKATAN
STRUKTURAL FUNGSIONAL
3.
PENDEKATAN
EKONOMI POLITIK
4.
PENDEKATAN
RURAL SOCIOLOGI ???
KONSEP “PEASANT ECONOMY” : PENDEKATAN RURAL SOCIOLOGI BELUM TEPAT
DIGUNAKAN, KARENA :
1.
“Bangunan”
teori ekonomi modern (masyarakat Kapitalis) merupakan sistem ekonomi yang
rumit, yang (“batu-bata”nya) terdiri dari lima kategori ekonomi yang berkaitan
satu sama lain secara tak terpisahkan,
dan secara fungsional saling tergantung dan saling menetukan (yaitu, harga,
kapital upah, bunga dan sewa). Jika satu saja “batu-bata” itu jatuh,
seluruh “bangunan” itu runtuh!
2.
Masyarakat
pedesaan Rusia misalnya waktu itu berupa “peasant
ownership without hired labour”. Petani memiliki/menguasai sarana produksi
(tanah, ternak) tetapi tidak ada tenaga upahan. Jadi, tidak ada
faktor upah (satu “batu-bata” sudah jatuh). Karena itu :
3.
Teori ekonomi modern (kapitalis) tidak
dapat diterapkan untuk menganalisa masyarakat-tani pedesaan. “Peasant society” harus diperlukan
sebagai suatu “sistem ekonomi tersendiri”, atau sistem ekonomi dengan tipe
khusus, karena mempunyai “economic
rationale” yang sama sekali berbeda.
DALAM MENYUSUN TEORI “EKONOMI DUAlISTIK’’NYA, BOEKE
BANYAK MENGACU KARYA CHAYANOV TAHUN 1923, MELIHAT BAHWA :
1.
Masyarakat-tani (peasant society) adalah masyarakat pedesaan yang di dalamnya tidak
ada pasar tenaga kerja, dan ekonominya semata-mata terdiri dari satuan-satuan
“usaha-tani keluarga” (UK), yaitu usaha tani yang tidak menggunakan tenaga
upahan, melainkan didominasi oleh tenaga dalam keluarga.
2.
UK tidak bersifat “profit maximization”, melainkan membangun dan menjaga keseimbangan
“consumer-labour ratio” (C/L), dan
dengan demikian disebut “subsitent”.
(kegiatan kerja satuan keluarga tidak ditentukan oleh perhitungan obyektif
tentang keuntungan, tetapi oleh penilaian subyektif tentang “labour druger”).
3.
Dalam peasant society, bagi semua
rumah tangga terdapat jangkauan terbuka terhadap tanah garapan.
TRANSPARANSI KULIAH KE-3 : PROPOSISI IMPLIKATIF DARI TEORI DAN
KONSEP-KONSEP DIMAKSUD, ADALAH :
1.
“Modernisasi
“peasant society” dapat dilakukan
dengan cara “integrasi vertikal”, dan bukan melalui “integrasi horizontal”.
2.
“Setiap
pemaksaan peningkatan modal (misal melalui kredit) yang melampui titik
optimumnya (menurut ukuran subyektif si petani yang berkenaan dengan “labour
drudgery”), akan menjadi boomerang”. (“Internal
economic contradictio”).
DALAM KONTEKS DIALEKTIKAL, DEBAT KLASIK DAPAT
DISEDERHANAKAN SEBAGAI BERIKUT :
1.
Penganut teori ekonomi “modern”
(kapitalis), baik Marxist maupun non-Marxist, berpendapat bahwa teori tersebut
dapat diterapkan untuk menganalisa masyarakat pedesaan. Bagaimanapun, proses
Kapitalisme akan melanda pedesaan walaupun lambat. (Dalam masa transisi yang
lambat itu masyarakat desa dilihat sebagai “incipient
capitalism represented by petty commodity produktion”).
2.
Chayanov berpendapat bahwa teori ekonomi
modern tersebut tidak dapat diterapkan karena “pesant society” mempunyai
“economic logic” yang berbeda.
3.
Para Marxist (khusunya Stalin)
berpendapat bahwa jika memang benar demikian, sedangkan mereka tetap
berpendapat bahwa yang besar itu lebih efisien, maka “integrasi horizontal”
harus diciptakan melalui kekuasaan negara. Chayanov menolak hal ini.
4.
Karena
itu saran Chayanov adalah bahwa untuk modernisasi masyarakat, yang diperlukan
adalah “integrasi vertikal”, yaitu
melalui koperasi yang diawasi oleh negara.
5.
Biarlah
usaha-tani satuan skala kecil tetap hidup, bahkan yang tak punya tanah justru
diberi tanah walaupun kecil (“land reform”).
“THE AGRARIAN DEBATE”
(First
Round)
1895-WW I
“THE AGRARIAN
DEBATE”
(Second
Round)
1920-1929
CHAYANOV’S
“THE TEORY OF PEASANT ECONOMY”
(1966)
(suntingan thn :1923 & 1925)
|
“THE AGRARIAN
DEBATE”
Kontemporer
(1970-an – sekarang)
SAMBUNGAN :
Peasant society ought to be treated as “an economic
system in its own right”
|
Menawarkan
alternative kebijakan dalam hal memodernkan masyarakat pedesaan
|
THE THEORY OF PEASANT ECONOMY
|
Membantah
hasil
analisa
Lenin
|
CHAYANOV:
“Bangunan teori ekonomi masyarakat modern
(kapitalis) merupakan system teori yang rumit, yang “batu-bata”nya terdiri
dari lima
“kategori ekonomi” (harga:capital;upah;bunga;kira-kira dan sewa), yang
secara fungsional saling tergantung dan tak terpisahkan. Artinya, satu saja
batu bata itu jatuh,seluruh bangunan itu runtuh !
|
Chayanov, melakukan
penelitian empiris
bertahun-tahun
|
“Gambar” masyarakat pedesaan
“peasant society=peasant ownership without hired labour”
|
Menganalisa kembali data
statistic yang telah dianalisa oleh lenin, dan membuat interpretasi baru
|
TRANSPARANSI
KULIAH KE – 4 (Lanjutan) :
“Rural proletariat”
|
Proses proletarisasi
|
Petani
|
Petani luas/kaya
|
Petani menengah
|
“Agrarian Boergeoisie”
|
Petani kecil/miskin
|
Buruh/buruh tani Tunakisma
|
Prosese Polarisasi
|
Proses Diferensiasi
|
THE AGRARIAN QUESTION (AQ)
|
A N O M A L I
|
THE AQ (Analyctical)
What happened?
What is the peasantry?
|
CHY : Studi Empiris Mikro :
What
is the peasantry ? :
·
How is the
nature?
·
Who are the
peasants?
·
What is their
economic logic?
·
What is their
role in food production?
·
How do they
respond to programs of modernization?
|
LN : “DIFERENSIASI SOSIAL”
|
The AQ-1 (Political)
|
The AQ-2
(political)
|
Analisa data statistic
(“zemst va”)
|
SAMBUNGAN :
POLICY IMPLICATION
|
THE THEORY OF PEASANT ECONOMY
|
CHY:”DIFERENSIASI DEMOGRAFIS”
|
KOLEKTIVITISASI
|
KOPERASI
|
STL
|
The Contemporery AQ
(Analictical)
|
AS capitalism develops, are the
peasentries disappearing as a social group, OR, are they remaining by
assuming a logical fungsion within the new economic system?
|
TRANSPARANSI KULIAH KE – 5 :
SKEMA PENDEKATAN DALAM
MELIHAT
MASYARAKAT “DESA”
(Cf. T.
Shanin, 1973)
MARXIAN
(ANALISIS)
|
Sudut Pandang : Hubungan kekuasaan. “Peasantry
(masyarakat tani atau masyarakat desa) yang ada sekarang ini dilihat sebagai
sisa-sisa dari “formasi sosial” masa lalu (yaitu masa pra-kapitalis: jaman
“feudal”)
NEO POPULISM
Chayanovian)
|
Sudut Pandang : Sosial-Ekonomi
(“Polit-Ec.”) “Peasantry” dilihat sebagai satuan sosial yang punya “sistem
ekonomi yang khas”, yang kuncinya: bekerjanya mekanisme “sistem suatu keluarga”
|
Sudut
Pandang : evolusi/budaya masyarakat. Desa dianggap semacam
“fossil”, mewakili tradisi masa-masa sebelumnya. Ini ‘tersimpan’ karena terjadi kesenjangan budaya
(“cultural lag”)
DURKHEMIAN
(DIKOTOMI)
|
Sudut Pandang : (Sosiologi-Antropologi):
Dualisme-dikotomis: “tradisional yang modern. Rural vs Urban”; “mekanik” vs
“organik”; “Gomeinschaft vs Gesellschaft”. ‘”partsocil eith Part culture”;
“part segment”.
1.
Pandangan
antropologis yang mewarisi etnografi Barat. Masyarakat dilihat
sebagai semacam “fosil”, sisa-sisa budaya masa lalu yang tertinggal karena
mengalami “culture lag” dalam keseluruhan proses evolusi masyarakat.
2.
Pendekatan
budaya, tapi mewarisi tradisi Durkheim, yaitu “modern/organik”.
Krober misalnya, memandang masyarakat desa sebagai menempati “posisi antara”,
yaitu ”part society with part culture”,
dan demikian juga Redfield, terkenal dengan istilahnya “part segment”.
3.
Pendekatan
Marxian: memandang masyarakat desa melalui “kacamata” hubungan
kekuasaan (power relations), yaitu
analisis kelas. Masyarakat desa masa kini dianggap sebagai sisa-sisa formasi
sosial masa lalu (masyarakat pra-kapitalis”) sebagai kelas yang terekploitir
dalam keseluruhan struktur kekuasaan yang ada.
4.
Pendekatan
neo-populis/chayanovian: memandang bahwa dalam masyarakat desa,
struktur sosialnya ditentukan oleh bekerjanya sistem ekonomi yang khas (“a specific type of economy”), yang
kuncinya terletak pada bekerjanya mekanisme “usahatani keluarga”.
TRANSPARANSI KULIAH KE – 6 :
KONSEP SOSIOLOGI PEDESAAN
1. SEJARAH SOSIOLOGI PEDESAAN
Sosiologi pedesaan tumbuh pertama kali dan berkembang di
Amerika Serikat. Pada mulanya adalah para Pendeta Kristen yang hidup di daerah
pedesaan (pertanian) yang menuliskan kondisi sosial ekonomi pedesaan di bagian
utara negeri itu. Mereka mencari pemecahan problema masyarakat pedesaan akibat
dari lahirnya industrialisasi.
2. PENGERTIAN DESA DAN PEDESAAN
Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya masyarakat hukum,
yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat, dan
berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan
Republik Indonesia.
3. PENGERTIAN SOSIOLOGI PEDESAAN
Sosiologi pedesaan mengkaji : rural life; hubungan anggota
masyarakat, perilaku spesial dalam setting pedesaan; Pemecahan masalah
pedesaan; Aspek-aspek yang bermanfaat dari disiplin ilmu lain; diskripsi
tentang pola-pola pertanian; Struktur sosial yang berkaitan dengan pekerjaan
dan lembaga, adat dan kebiasaan penduduk desa. Dan akhirnya menekankan studinya
pada masyarakat pedesaan tanpa mempersoalkan kaitan mereka dengan usaha tani.
4. TIPOLOGI DESA DI INDONESIA
Desa atau pedesaan yang menjadi obyek perhatian sosiologi
pedesaan, biasa ditipekan : Desa Swadaya, Desa Swakarya, dan Desa Swasembada.
Apabila dilihat dari struktur sosial, dikategorikan :
1.
Struktur sosial berdasarkan genealogis,
misalnya: Batak dan Minangkabau.
2.
Struktur sosial dalam hubungan
patron-klien, misalnya: Bone, Makassar dan Kendari.
3.
Struktur sosial berdasarakan luas
pemilikan tanah.
4.
Struktur
sosial yang kompleks.
Adapun makna mendasar dari segi bentuk dan pola pemukiman,
dapat dilihat beberapa aspek :
a.
Aspek
budaya.
b.
Aspek
ketersediaan SDA.
c.
Aspek
ketergantungan sesama.
Apabila dilihat dari bentuknya, maka unsur pola pemukiman
meliputi :
a.
Kompak
(clastelid).
b.
Dispuc.
c.
Linier.
d.
Cuek.
Disamping itu, desa atau wilayah pedesaan sebagai tempat
tinggal, dicirikan oleh para ahli sosiologi sebagai berikut :
1.
Penduduknya
terdiri atas suku bangsa yang homogen.
2.
Hubungan bersifat tertutup dan
geneologis.
3.
Hubungan sosial ekonomi dan bersifat
agraris.
4.
Ekologi yang sunyi tetapi menyegarkan.
5.
Arus
datang dan pergi manusia sangat jarang.
6.
Potensial pengolahan tanah, perikanan,
perkebunan, hutan dan kerajinan.
TRANSPARANSI KULIAH KE-7
5.
GUGUS KAJIAN
1.
PELUANG BERUSAHA DAN KESEMPATAN KERJA.
2.
AGRARIA YANG MENCAKUP PENGUASAAN TANAH DAN LEMBAGA
HUBUNGAN KERJA DI LAHAN.
3. PERANAN WANITA.
4. GRUP DAN KOMUNITAS MENCAKUP BAB-BAB KLASIK DALAM
SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI.
5. NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA YANG MENDALAMI TAFSIRAN BUDAYA.
6. KEPENDUDUKAN DAN MIGRASI KEPENDUDUKAN.
|
KETERANGAN
1 dan 2 masalah: karya produktif, perilaku ekonomi RT,
partisipasi petani/nelayan, pembagian kerja, pengambilan keputusan, modernisasi
usaha tani dan pengorganisasian petani. Ketiga mencakup gender, peran ganda,
struktur dan fungsi keluarga, status dan partisipasi wanita, kekerabatan (patri, matri, matripokal).
Keempat meliputi komunitas (kampung, desa, komunitas padi sawah, lahan
kering dan kebun industri, kelompok swadaya KUB dan aksibton KB). Kelima
perihal nilai dan norma agama. Keenam kajian tentang gerak penduduk dalam
propinsi, migrasi serkuler dan mobilitas okupasi.
6. UNIT KAJIAN
Masalah siapa yang dikaji ? Komunitas petani, buruh tani,
nelayan, pengrajin dan cukong. Masalah apa ? mempersoalkan tentang kemiskinan,
kesejahteraan, kecukupan pangan, gizi, pembentukan moral, tenaga kerja anak dan
wanita dan perubahan mata pencaharian.
7. TOPIK UTAMA KAJIAN
1.
KOMUNITAS
DESA DAN POLA PEMUKIMANNYA
2.
“RURALITAS”
3.
ASPEK-ASPEK EKONOMI : TANAH, PEKERJAAN,
PENDAPATAN DAN JAMINAN KEPASTIAN
4.
INTERAKSI
SOSIAL.
5.
STRUKTUR
SOSIAL/ORGANISASI SOSIAL:
-
Kelompok/Group
-
Integrasi;
Diferensiasi
-
Stratifikasi
6.
SOSIALISASI
DAN KONTROL SOSIAL
7.
PERUBAHAN
DAN PERKEMBANGAN
TRANSPARANSI KULIAH KE-9 :
1.
Organisasi
sosial = seperangkat hubungan sosial yang terpola; pola ini terbentuk dari
proses interaksi sosial, yang berkembang dari waktu kewaktu.
2.
Ada
dua pola :
-
Pertama
: struktur sosial
-
Kedua
: pola kebudayaan
3.
Struktur
sosial = jaringan hubungan sosial antara sejumlah ‘kedudukan’ (“status position”) dari unsur-unsur
organisasi sosial.
4.
Konsep-konsep kunci untuk memahami
struktur sosial :
-
‘status
positions’
-
‘Role’
(peran; peranan)
-
‘Identity’
-
‘Prestige’
-
‘Privileges’
-
‘Perspeotives’
-
‘power’
5.
Konsep-konsep
kunci untuk memahami pola kebudayaan :
-
“truths”
-
“Values”
-
“Goals”
-
“Norms”
-
“Institutions”
1.
Kebudayaan
= “kompleks keseluruhan” yang terdiri dari cara-cara kita berfikir dan segala
sesuatu yang kita miliki sebagai warga masyarakat. Pernyataan lain yang
dianggap sebagai sinonimnya : (ungkapan pendek) :
a.
Perilaku
yang terpelajari (‘learned ways of behavior’)
b.
Warisan
sosial (the sosial heritage)
c.
‘mahluk’
superorganik (The Superorganik)
d.
“Design
for living”
2.
Dengan
pengertian seperti di atas maka, “organisasi (pengorganisasian) sosial” adalah
‘bagian dari kebudayaan’.
3.
Tujuh unsur yang menjelaskan susunan
masyarakat (struktur sosial):
1.
Norma-norma
2.
Status
3.
Kelompok
(Group)
4.
Asosiasi
5.
Institusi
6.
“Authority”
7.
“Power”
KULIAH KE-10 (LANJUTAN)
4.
Kebudayaan
:
Ideas Norms Material
Idiology Tecknology
|
KEKUASAAN:
1.
Terdapat banyak sekali definisi yang
berbeda-beda mengenai pengertian “power”.
Salah satu yang sering dikutip adalah definisi dari Max Weber :
a.
Power is the
probability that one actor within a social/relationship will be in a position
to carry out his own will despite resistence, regardless of the basis on which
this probability rest (Weber, 1947:152. Terj. Handerson dan Parsons)
b.
Power is the
chance of a man or of a number of man to realise their own will in a
communa/action, even against the resistence of others who are participating in
the action. (Gearth dan Mills, 1972: From Max Weber, hal. 180).
2.
Konsep
“power” memang merupakan salah satu soal yang belum “settled”, baik dalam sosiologi, maupun dalam ilmu politik. Apalagi
di Indonesia, konsep Barat itu sering ditangkap secara rancu, karena terjemahan
yang kurang tepat. Misalnya,”power and Authority” diterjemahkan menjadi “kuasa
dan wibawa”
3.
Menurut
Bierstedt : “authority”= institutionalized power dalam bahasa Indonesia disebut
wewenang, jadi menurut GWR :
-
Kuasa
melahirkan kepatuhan ‘terpaksa’
-
Wewenang
melahirkan kepatuhan ‘wajib’
-
Wibawa
melahirkan kepatuhan sukarela
4.
Justru karena belum ‘settled’ itu maka
penelitian tentang aspek-aspek kekuasaan sangat menarik.
5.
Ada
tiga aliran pokok dalam hal pendekatan studi kekuasaan :
a.
Phenomenological
apporoach atau Ethno-scientific apporoach.
b.
‘Elitist’
atau Reputational approach
c.
Issue-Outcome
Approach
6.
Pendekatan (a) pernah digunakan oleh
Benediet Anderson, meneliti masyarakat Jawa. Hasil karya tulis berjudul : The Idea of Power in
Javanise culture
KULIAH
KE-11 (KAJIAN ATAS TULISAN PROF DR. J.H. BOEKE)
KULIAH
KE-12. TINDAK LANJUT ATAS KAJIAN TULISAN TERSEBUT, DENGAN MENGGUNAKAN KERANGKA
BERIKUT INI:
THE ESENSIAL UNIT-IDEAS DALAM SOSIOLOGI
COMMUNITY VERSUS SOCIETY
AUTORITY VERSUS POWER
STATUS VERSUS CLASS
SACRED VERSUS SECULAR
ALENATION VERSUS PROGRESS
BERPIKIR SOSIOLOGIS ATAU CITA RASA SOSIOLOGIS
ADALAH CARA MEMANDANG ATAS DASAR KESADARAN
BAHWA “MANUSIA ADALAH MAHLUK SOSIAL (ZOON
POLITICON) YANG ARTINYA :
1.
MANUSIA
ITU TERSOSIALISASI, YAKNI POLA PERILAKU YANG TERBENTUK BY BELAJAR SEBAGAI HASIL
INTERAKSI DENGAN MANUSIA LAIN.
2.
MANUSIA
ITU PELAKU SOSIAL
3.
DALAM
PROSES INTERAKSI, LAMA KELAMAAN TERBENTUK POLA TERTENTU YANG PADA GILIRANNYA
MEMPENGARUHI TINDAKAN MANUSIA
4.
DEMI
KELANGSUNGAN HIDUPNYA, MANUSIA TERGANTUNG DARI ORANG LAIN.
ANALISIS
SOSIOLOGIS DIARAHKAN/DIPUSATKAN PADA LIMA ARAS:
1.
SOCIETY:
MAKRO
2.
ORGANISASI
SOSIAL (ASOSIASI) MULAI DARI YANG PALING BESAR HINGGA KECIL (DIAD)
3.
KELEMBAGAAN
(PRANATA SOSIAL)
4.
INTERAKSI
TATAP-MUKA: MIKRO
5.
MASALAH
SOSIAL: KEMISKINAN, PEMISKINAN WILAYAH PEDESAAN, BUTA HURUF, PERAMPOKAN,
PELACURAN DLL.
JENIS KELOMPOK DAN CIRINYA
KRITERIA/SIFAT ATAU JENIS KELOMPOK
|
KESADARAN AKAN KESAMAAN
|
ADA INTERAKSI
|
TERORGANISASI
|
1.
STATITICAL
2.
SOCIETAL
3.
SOSIAL
4.
ASSOCIATIONAL
|
TIDAK
YA
YA
YA
|
TIDAK
TIDAK
YA
YA
|
TIDAK
TIDAK
TIDAK
YA
|
PALING KURANG ADA TIGA BENTUK PEMERINTAHAN EKSEKUTIF DESA DI
INDONESIA, YAKNI:
1.
PIMPINAN
BERADA DI TANGAN SEORANG KEPALA (JAWA, BALI DAN ACEH).
2.
PIMPINAN
BERADA DI TANGAN SEBUAH MAJELIS (MINANGKABAU, PALEMBANG DAN BANGKA).
3.
PIMPINAN
BERADA DI TANGAN DUA ORANG KEPALA. SATU UNTUK URUSAN DARAT DAN SATU UNTUK
KELAUTAN.
JABATAN ANGGOTA PARABOT DESA DI JAWA ADALAH:
1.
KEPALA
DUKUH (RUKUN KAMPUNG)
2.
JURU
TULIS
3.
PESURUH
DESA (KEBAYAN)
4.
PENGELOLA TALI AIR (ULU-ULU)
5.
PENGELOLA
HUTAN
6.
PENGELOLA
HEWAN
7.
PENGELOLA
JALAN
8.
PENGELOLA
ATAU PENGUTIP CUKAI
9.
PEMBERANTAS
HAMA PENYAKIT TANAMAN
10.
PETUGAS
AGAMA
11.
PENJAGA
KEAMANAN (JAGABAYA)
TRANSPARANSI KULIAH KE-13
DINAMIKA MASYARAKAT PEDESAAN
Sebuah Perdebatan Ahli yang belum
Tuntas
A. LABORATORIUM SOSIAL
“Indonesia merupakan salah satu ‘laboratorium’ terbesar di dunia bagi
peneliti sosial. Daerah pedesaannya merupakan ‘hutan belantara’ dimana para
peneliti dapat berburu data tanpa habis.
|
Bertolak dari “lab sosial”
inilah, sehingga pergeseran isyu dominan berlangsung santer di benak para ahli
pedesaan, antara lain:
a.
Dekade
1970-an :
-
Modernisasi
pertanian
-
Hubungan
kerja (pertanian)
-
Kemiskinan
b.
Dekade
1980-an :
-
Kesenjangan
-
Migrasi
desa-kota
-
Kegiatan
kerja luar pertanian
c.
Dekade
1990-an : mulai diwarnai oleh tema-tema “post
modernism” a’la Pembertonian, yang menekankan kebudayaan, refleksi
keagamaan, dan perubahan gaya hidup berkaitan dengan isyu globalisasi.
B. SKETSA : POSISI BEBERAPA CARA PANDANG
1. COLLIER, at.al (19783 & 1974)
Berbagai ‘cap’ yang ditimpakan kepadanya :
·
“Collier, et. Al. ‘paradigm’ (Colletal)
· “Radical ‘Political-Economists’
paradigm”
· “Populist ‘paradigm’”
ISINYA :
a.
Tatacara panen terbuka dengan sistem upah berupa bawon tetap, merupakan
manifestasi dari gambaran Geertz tentang desa Jawa : “poverty-sharing” dan “welfare
institution”
b.
Perubahan
tatacara panen, merebaknya gejala tebasan, AD: indikasi melemahnya gejala
involusi dan merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya revolusi.
c.
Revolusi hijau dan perubahan tatacara
panen.
d.
Tekanan jumlah penduduk dan teknologi RH
menyebabkan terjadinya proses kesenjangan aset dan pendapatan.
2. HAYAMI & KIKUCHI (1981)
·
Kulminasi beberapa karya sebelumnya, al
:
a.
Hayami
& HHafid, 1979.
b.
Kikuchi,
et.al., 1980
· ‘Cap’ yang ditempelkan kepadanya :
a.
ANP
= Adapted Neoclassical Paradigm
b.
IIIT
= Induced Institutional Innovation Theory
INTINYA :
a.
Dalam
aspek demografis, kurang lebih sama dengan Colletal, bahwa tekanan penduduk AD:
factor utama terjadinya perubahan hubungan-hubungan agraris di pedesaan.
b.
Namun peran teknologi, berlawanan dengan
Colletal, bahwa teknologi justru mengatasi proses pemiskinan, dan menangkal
proses kesenjangan.
c.
Institusi tradisional yang berfungsi
sebagai pranata kesejahteraan tidak harus berubah, sebaiknya tidak diubah,
melainkan ‘dimodernisir’ (innovasi) untuk menangkal diferensiasi kelas.
3. HART,G (Sejumlah karya th, 1986 & 1989)
· Teori ELA = Exclusionary Labor
Arrangement
INTINYA : Kritik
terhadap : baik Hayami & Kikuchi maupun Colletal :
a.
Kedua ‘paradigma’ terdahulu dianggap
tidak mampu menjelaskan “timing” dan
laju perubahan.
b.
Perubahan hubungan agraris di pedesaan
Jawa bukan hanya karena teknologi, jumlah penduduk, proses komersialisasi,
kecuali terpenting: perubahan kondisi poitik serta keresahan (tension) dan kontradiksi-kontradiksi
yang dilahirkannya.
c.
Peran negara perlu dimasukkan dalam analisis. ELA dipandang sebagain ‘sosial control’
KULIAH KE-14 (LANJUTAN)
4. PINKUS, J. (1996)
· Sebuah disertasi, kajian ulang
(restudy) terhadap desa-desa yang diteliti oleh Hayami & Kikuchi, plus satu
desa lain, sebagai pembanding.
· Dari segi konseptualisasi dan
metodologi, studi Pinkus ini dapat dikatakan jauh lebih ‘canggih’ (sekalipun
tetap ada kelamahannya) dibandingkan dengan studi-studi yang telah disebutkan
di atas.
· Pendekatan: Marxian (clase realitions; power realitions).
Atau lebih tepat, seperti komentar Ben White, ‘unreconstructed, but flexible, Leninists framework’’.
INTINYA : membantah teori Hayami &
Kikuchi (H&K), sekaligus juga membantah sebagian argument G. Hart tentang
peranan negara. Menurutnya, H & K mempunyai empat kelemahan :
a.
H&K
mengabaikan aspek sejarah;
b.
H&K
mengasumsikan desa sebagian komunitas factor mobilitas tenaga kerja. Padahal
migrasi musiman ternyata juga berkaitan dengan dinamika perubahan proses panen
(catatan : lihat juga Breman, 1995);
c.
H&K
mengasumsikan bahwa ‘tekanan penduduk’ betanggung jawab atas terjadinya
kesenjangan agraris. Ternyata hal itu tidak terbukti (Pinkus menyatakan ini
dengan dukungan data).
d.
H&K
tidak berhasil menggambarkan bagaimana mekanismenya mengapa pertumbuhan
penduduk menyebabkan kesenjangan yang tajam dalam hal penguasaan tanah.
5. COLLIER, at.al (1996) = COLL-96
·
Perhatikan: susunan nama-nama ‘al’ nya,
yang 1996 ini berbeda dari ‘al’ tahun 1973 & 1974 (orangnya berbeda)
· Cara-pandang: “Neo-Liberalsme” (Cap
dari Prof. Dr. Sajogyo) (Collier berubah haluan)
·
“kajian-kilas” (tak jelas apa maksudnya.
‘Restudy’? ‘Kajian-sepintas lalu’?) terhadap 35 desa yang sebagian besar pernah
menjadi sample SDP/SAE
· Metodanya: ’Quasi’ atau ‘Pseudo’ RRA
·
INTINYA :
a.
Selama
25 tahun terakhir ini pedesaan di Jawa telah mengalami: revolusi-hijau,
revolusi-angkatan, dan revolusi-komunikasi. Diharapkan akan terjadi
revolusi-agrobisnis;
b.
Tujuan
studinya secara eksplisit dikatakan sebagai: “upaya untuk mendokumentasikan
yang diperlukan dan menemukan apa saja agrobisnis di kawasan pedesaan”.
c.
Kondisi
di pedesaan sudah matang bagi adanya pasar aktif jual-beli tanah. Karena itu,
biarlah masalah pertanahan ditentukan oleh mekanisme pasar;
d.
Pendekatan baru harus didasarkan atas
kenyataan baru (tentu saja proposisi ini sangat benar). Kenyataan baru itu,
menurutnya adalah prasarana di pedesaan, usaha komersial, berpendidikan,
informasi mengalir, tanggap isyarat pasar, dan upah meningkat. Dan penggarapan tanah rakyat
berkurang, karena meningkatnya migrasi ke kota dan lain-lain.
KULIAH KE-15 (KAJIAN ATAS TULISAN
PROF. DR. SAJOGYO).
TRANSPARANSI
KULIAH KE-16
METODOLOGI STUDI
SOSIOLOGI PEDESAAN
1.
KARAKTERISTIK METODOLOGIS
PENELITIAN KUANTITATIF
|
PENELITIAN KUALITATIF
|
||
·
FAKTA SOSIAL MEMPUNYAI REALITAS YG OBEKTIF
·
MENGUTAMAKAN
METODE
·
VARIABEL DPT
DIIDENTIFIKASI DAN HUBUNGANNYA DPT DIUKUR
· ETIK: MEMENTINGKAN PANDANGAN ORANG LUAR
· MENGGENERALISASI
· MERAMALKAN
· MENERANGKAN SEBAB-AKIBAT
DARI SEGI PENDEKATAN:
· MULAI DGN TEORI DAN HIPOTESIS
· MEMANIPULASI & KONTROL
· MENGUTAMA INSTRUMEN FORMAL
· EKSPRIMENTASI
· DEDUKTIF
· ANALISIS KOMPONEN
· MENCARI KONSENSUS NORMA
·
MEREDUKSI DATA KE DLM INDIKATOR ANGKA
· PENULISAN LAPORAN DGN BAHASA ABSTRAK
DARI SEGI PROSEDUR:
BERSIFAT LINIER
|
· REALITAS DIBENTUK SECARA SOSIAL, JAMAK DAN MERUPAKAN
KEUTUHAN
· MENGUTAMAKAN BIDANG PERMASALAHAN
· VARIABEL ADALAH RUMIT,
SALING TERKAIT DAN TDK DPT DIUKUR
· EMIK: MEMENTINGKAN PANDANGAN ORANG DALAM
· KONTEKSTUALISASI
·
INTERPRETASI
· MEMAHAMI SEGI PANDANGAN SUBYEK
DARI
SEGI PENDEKATAN:
·
BERAKHIR DGN
HIPOTESIS KERJA & TEORI DASAR
· MENCARI YANG MUNCUL DAN MENGGAMBARKANNYA
· PENELITI SBG INSTRUMEN UTAMA
·
NATURALISTIK
·
INDUKTIF
·
MENENTUKAN POLA
·
MENCARI
PLURALISME & KERUMITAN
·
HANYA SEDIKIT MEMANFAATKAN INDIKATOR ANGKA PENULISAN
SECARA DESKRPTIF
BERSIFAT
SIRKULER
|
||
MAKNA
|
|||
ETNOGRAFI
|
FENOMENOLOGI
|
NATURALISTIK
|
DESKRIPTIF
|
RRA
|
Metodologi pedesaan????
|
P R A
|
PENELITIAN KUALITATIF
|
1. STUDI KOMUNITAS
ACUAN
|
KOMUNITAS
|
DESA
|
PENGERTIAN
|
?
|
?
|
“STUDI-K/D”
|
?
|
?
|
“KOMUNITAS” Dipergunakan Dalam Empat
Macam Pengertian Yang Berbeda-Beda :
1.
Terjemahan
Untuk Istilah “Gemeinschaft” Dari
Ferdinand Tonnies.
2.
Sejumlah
Orang Yang Saling Berbagai Nilai Tradisi Atau Kepentingan, Misal: “Komunitas
Ilmuwan”.
3.
“Tingkat Biotik” Dari Organisasi
Manusia, Yang Analog Dengan “Biogram” Dalam Biologi.
4.
Dimensi
: “Wholeness” (Ke-Menyeluruhan) Dari ‘Way Of Life’ Dan Dimensi Waktu,
“STUDI KOMUNITAS” = “Studi tentang perlaku manusia
dalam komunitas, yaitu dalam konteks alamiah yang terbentuk dari kehidupan
bersama yang penuh dan alamiah, dari hubungan antar jantina dan antar generasi,
dan dari proses komunikasi dan transmisi budaya yang terus berlangsung”.
(Arensberg, 1954: 42).
2. STUDI DESA
Menurut Lipton Dan Moore (1980), Studi Desa Yang Paling Rinci
Memuat Dua Jenis Data:
a.
Data
Penduduk Desa Secara Keseluruhan, Dibagi Kedalam Pelbagai Kelompok : Pekerjaan,
Sosial, Agama, Penghasilan, Status Penguasaan Tanah, Dsb.
b.
Data
Desa Sebagai Unit Lokasi/Komunitas : Ada Tidak Fasilitas Pendidikan, Kesehatan,
Lembaga-Lembaga Keagamaan, Sistem Administrasi, Sistem Sosial, Dsb.
Studi Yang Tidak
Digolongkan Sebagai “Studi Desa” Adalah:
-
Survei Sampel Secara Besar-Besaran
Mencakup Sejumlah Desa, Tapi Di Tiap Desa Hanya Diambil Sejumlah Sampel Kecil,
Dan Hasilnya Di Sajikan Dalam Bentuk Agregat.
-
Studi Tentang “Farm Managent” Yang Fokusnya Hanya Pada Keputusan Sejumlah Kecil
Petani Tanpa Menyinggung Kendala Yang Dihadapi Komunitas.
3. STUDI KASUS
Studi Kasus adalah “the study of the particularity and
complexity or a single case, coming to understand its activity within important
circumstances” (Robert Stake, 1995).
Adapun beberapa ciri khasnya, sebagai berikut :
1.
HOLISTIK
-
Kasus
dilihat sebagai “bounded system”
-
Menekankan
pada kontekstualitas
-
Menolak
“reductionism” dan “elementalism”
-
Pada
dasarnya “non-comparative”
2. EMPIRIK
-
Orientasi
kepada lapangan
-
Tekankan
pada observasi
-
Alamiah
(‘naturalistik’)
3.
INTERPRETATIF
-
Mengandalkan
intuisi
-
Bebas mengamati dan mengenali kejadian
yang relevan dengan masalahnya.
-
Penelitian adalah interaksi antara
peneliti data yang diteliti.
4. EMPIRIK
-
Mengenali
kehendak si objek
-
Memahami kerangka acuan berfikir si
objek
-
Rencana dan “design” penelitian bersifat
darurat (dapat berubah-ubah selama dalam proses pul; syu-isyu nya adalah isyu
‘emik’, yang secara bertahap dijamkan).
Kemudian Robert E. Stake membedakan 3
macam Studi Kasus (tergantung tujuan dan kondisi)
1.
“Intrinsic Case Study”
2.
“Instrumental Case Study”
3.
“Collective Case Study”
PEMILIHAN KASUS DIDASARKAN ATAS:
(Beberapa Tawaran)
1.
Bertujuan
Untuk Menghasilkan “Pengetahuan” Atau Membantu Pengambilan Kebijakan.
2.
Mencari
Kasus Khusus Yang Khas (Unik), Atau Mana Yang Paling Baik Untuk Memperoleh
Pemahaman.
3.
Mengambil Pandangan Ganda (Relativism),
Atau Pandangan Tunggal.
4.
Ingin Melaporkan Generalisasi Formal,
Atau Menampilkan Pengalaman Orang Lain.
5.
Menyajikan Kesimpulan-Kesimpulan Tentang
Nilai, Atau Merangsang Perdebatan Tentang Nilai.
Dasar Utama Pemilihan Kasus, Yakni:
1.
Peluang Untuk Belajar Atas Kasus Manakah
Yang Paling Memberkan Kesempatan/Kemudahan Untuk Dipelajari.
2.
Dalam
Hal “Collective Case Studies”
(Berarti Memilih Beberapa Kasus)
-
Keragaman Secara Berimbang Merupakan
Prioritas Utama.
-
Pemilihan Dengan Cara “Sampling” Harus
Tidak Merupakan Prioritas.
6. STUDI DAN PRA
INFORMASI YANG DIPERLUKAN BAGI PENENTU KEBIJAKSANAAN
|
||
1. RELEVAN 3. CUKUP TELITI
2.
“TEPAT WAKTU” 4. DAPAT
DIGUNAKAN
|
||
BAGAIMANA CARA
MENGUMPULKANNYA ?
|
PEDOMAN KERJA DI LAPANGAN
Petugas RRA
|
Mempelajari
Keadaan Masyarakat
|
Menentukan
Kebutuhan Masyarakat
|
TIDAK
|
Jelaskan Kepada Masy Apa Sebenarnya Yang Diperlukan
|
TIDAK
|
Apakah
Masyarakat Dapat Menerima
|
YA / TIDAK
|
Apakah
Kebutuhan Yang Di rasakan Mereka Itu Benar ???
|
Selidiki
Dengan Cara Pendekatan Apa Sebabnya Masyarakat Tidak Dapat menerima
|
T I D A
K
|
YA
|
ADAKAH TEKNOLOGI SETEMPAT YANG
DAPAT MENGATASI MASALAH ITU, ATAU PERLU PENINGKATAN TEKNOLOGI
|
TIDAK
|
YA
|
PERKENALKAN TEKNOLOGI BARU
|
TINGKATKAN TEKNOLOGI YANG ADA
|
Jelaskan Kepada Masyarakat Apa
Yang Mereka Rasakan Itu Benar ???
|
Apakah Masyarakat Melihat Akan Kebutuhan Ini?
|
ADA BEBERAPA (BIASANYA) KELEMAHAN METODOLOGI
KONVENSIONAL
|
“TURIS PEMBANGUNAN”
|
“SURVEY KONVENSIONAL”
|
1.Bias
tempat
2.Bias
proyek
3.Bias
hubungan pribadi
4.Bias
musim kering
5.Bias
sopan santun
Peneliti
cenderung:
1. Menghindari topic sensitive
2.Enggan mendengarkan,enggan
belajar dari petani
3.Melewatkan yang tak Nampak
4.Menangkap potert sesaat
|
1.
Cenderung mencari data berlebihan (kuesioner teebal)
2.
Peluang
kesalahan data menjadi besar
3.
Banyak data
jadi mubazir
4.
Bias teknik
5.
Laporan :
a. sering mengalami kesulitan menulis penjelasan
karena pemahaman menguap
b.Masalah pokok dan
sampingan sering kabur
c. Dari segi “policy”kadaluarsa
|
R = R
|
L = L
|
RRA = RAP
|
S=S
|
LATAR BELAKANG TIMBULNYA RRA
“ R R A “
|
PENELITIAN TERAPAN BAGAIMANA
HASILNYA? KETIDAKSESUAIAN ANTARA HASIL-TUJUAN-KEGUNAAN-KETEPATAN WAKTU
|
PARADIGMA MENGENAI “DEVELOPMENT”
KURANG MEMADAI
|
PENELITIAN GAYA “TURIS PEMBANGUNAN’VERSUS “WARISAN
AKADEMIK”
|
USAHA MENCARI METODE YANG SESUAI
UNTUK MEMAHAMI KENYATAAN MASYARAKAT PEDESAAN
|
MASALAHNYA, YANG SERING TERJADI ADALAH:
QUICK AND CLEAN
|
QUICK AND DIRTY
|
“RRA”
|
?
|
LONG AND DIRTY
|
LONG AND CLEAN
|
TURIS PEMBANGUNAN
|
PENELITIAN KONVENSIONAL SURVEY;
PARTICIPANT OBSERVATION
|
YANG KITA CARI “ RRA”
|
AZAS INTI RRA
“TRIANGULATION”=
SERBA SEGI TIGA
|
DISIPLIN “A” DISIPLIN “B”
KOMPOSISI TEAM PENELITI
DISIPLIN “C”
SEKUNDER WAWANCARA STRATA I STRATA 2
METODE SATUAN
OBSERVASI
PENGAMATAN STRATA 3
KELOMPOK ACAK KELOMPOK TERSTRATA
GROUP
KELP KHUSUS
SEKUNDER WAWANCARA
“RESPONDEN” “INFORMAN”
METODE
PENGAMATAN
KONSEP DAN DEFINISI
KONSEP DAN DEFINISI
A. DEFINISI
RRA ADALAH KEGIATAN MEMPELAJARI KEADAAN PEDESAAN SECARA INTENSIF
BERULANG, EKSPLORATIF, CEPAT, DILAKUKAN OLEH KELOMPOK KECIL ANTAR DISIPLIN
YANG DIGUNAKAN SEJUMLAH METODE, ALAT, DAN TEKNIK YANG DIPILIH SECARA KHUSUS
UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN TERHADAP KEADAAN PEDESAAN, DENGAN TEKANAN UTAMA
PADA PENGGALIAN PENGETAHUAN PENDUDUK SETEMPAT DAN DIGABUNGKAN DENGAN ILMU
PENGETAHUAN MODERN (GRANDSTAFF, GRANDSTAFF, AND LOVELACE, 1987)
|
B.
CIRI
RRA
1.
ASPEK
“EKSPLORATIF”
2.
ASPEK
“KECEPATAN”
3.
ASPEK
PENGGUNAAN “INTERDISCLPLINARY-TEAM”
4.
ASPEK “INTENSIF”/”BERULANG” (AZAS “CYBERNETICS”)
C.
SYARAT-SYARAT
MELAKUKAN RRA
1.
Tersedia
Tenaga Peneliti yang memadai
2.
Sruktur Penelitian itu sendiri harus
cukup fleksibel
3.
Hasil yang diinginkan memang akan
memadai jika dilakukan dengan RRA
MEMADAI DALAM ARTI:
1.
Tenaga
Peneliti memenuhi Syarat
2.
Berpengalaman
3.
Bersedia
dan Mampu Bekerja sama
D.
TUJUAN MELAKUKAN RRA
Untuk Membangun Suatu Cara Pengumpulan Informasi Yang
Memenuhi Kriteria :
· Relevan, Tepat-Waktu, Cukup Teliti
(Tak Begitu Teliti Tapi Tak Terlalu Salah); Dan Dapat Digunakan (Relevant,
Timely, Considerably Acourate, Useable).
· “Cost Effective”
E.
APLIKASI RRA
1.
Menjajaki,
Mengidentifikasi¸Dan / Atau Mendiagnosa Masalah, Isyu, Atau Keadaan Di
Pedesaan.
2.
Membuat
design, Memonitor, Dan Mengevaluasi Program, Proyek, Ataupun Kegiatan
Pembangunan.
3.
Mengembangkan
Alih Teknologi.
4.
Menanggapi Suatu Bencana Ataupun Keadaan
Darurat Lainnya.
5.
Memperbaiki, Menunjang, Dan/Atau
Melengkapi Tipe Penelitian Lainnya.
6.
“Last
But Not Least”, Membantu Perumusan Kebijaksanaan.
TRANSPARANSI KULIAH KE-17: PEMILIKAN
TANAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PATRON-CLIEN
A.
BENTUK-BENTUK PEMILIKAN TANAH
1.
PEMILIKAN
PERORANGAN
2.
PEMILIKAN
KOMUNAL
3.
PEMILIKAN
BY PENUKARAN
4.
PEMILIKAN
BY PENGHIBAHAN
5.
PEMILIKAN
BY TRANSAKSI JUAL BELI
6.
PEMILIKAN
BY PEWARISAN
B.
LATAR BELAKANG PEMILIKAN TANAH
1.
PRANATA
POLITIK
2.
PRANATA
RELIGI
3.
PRANATA
EKONOMI
4.
PRANATA
KEKERABATAN
5.
PRANATA
KADALUWARSA
C.
BENTUK PENGGUNAAN TANAH
1.
PENGGUNAAN
KOMODITI PERTANIAN
2.
PENGGUNAAN
TEMPAT TINGGAL
3.
PENGGUNAAN
TEMPAT OLAH RAGA
4.
PENGGUNAAN
TEMPAT REFRESING
5.
PENGGUNAAN
LOKALISASI (MILITER, PELACURAN)
D.
PRANATA SOSIAL DALAM PENGGUANAAN
TANAH
1.
PRANATA
POLITIK (Pemberian tanah yang mengandung muatan politik terselubung, seperti
tanah pecatu di Bali)
2.
PRANATA
RELIGI (Bangunan pemujaan, kuburan dll)
3.
PRANATA
EKONOMI (Untuk Memenuhi Kebutuhan Keluarga, harus menyewa tanah atau sistim
bagi hasil, serta)
4.
PRANATA
KEKERABATAN (Pembagian Warisan, ahli waris, dan harta warisan).
5.
PRANATA
HUKUM ADAT (Tanah Adat yang Sifanya Turun-Temurun, Hak Ulayat )
E.
INDONESIA MENANGIS…,KARENA:
1.
MENJADI NEGARA MISKIN DENGAN BEBAN
HUTANG 1400 TRILYUN RUPIAH (Forum, 5 Maret 2002)
2.
PULUHAN
JUTA ORANG DALAM KEMISKINAN
3.
BELASAN
JUTA ORANG KEHILANGAN PEKERJAAN
4.
40
JUTA ORANG NGANGGUR DAN 3 JUTA DIANTARANYA SARJANA
5.
4,5JUTA
ANAK PUTUS SEKOLAH
6.
JUTAAN
ORANG MENGALAMI MALNUTRISI
7.
KRIMINALITAS
MENINGKAT 1000%
8.
PERCERAIAN
MENINGKAT 400%
9.
PENGHUNI
RUMAH SAKIT JIWA MENINGKAT 300%
PADAHAL…
1.
AREAL
HUTAN PALING LUAS DI DUNIA
2.
TANAHNYA
SUBUR DAN ALAM INDAH
3.
POTENSI KEKAYAAN LAUT LUAR BIASA (6,2
JUTA TON IKAN, MUTIARA, MINYAK DAN MINERAL LAIN)
4.
TERKANDUNG BARANG TAMBANG EMAS, NIKEL,
TIMAH TEMBAGA, BATU BARA, DSB
5.
DIBAWAH
PERUT BUMI TERSIMPAN GAS DAN MINYAK YANG CUKUP BESAR
MENGAPA INI BISA TERJADI, DIMANA
LETAK KESALAHANNYA???
COBA LIHAT SAJA…!!!
1.
3,5
JUTA HA HPH DIKUASAI OLEH GRUP KAYU LAPIS HUNAWAN WIDJAJANTO
2.
2,9
JUTA HA DIKUASAI OLEH GRUP DJAJANTI BURHAN URAY
3.
2,7
JUTA HA DIKUASAI OLEH GRUP BARITO PACIFIC PRAJOGO PANGESTU
4.
1,6 JUTA HA DIKUASAI OLEH GRUP KALIMANIS
BOH HASAN
5.
1,2 JUTA HA SIKUASAI PT ALAS KASUMA
GROUP
6.
850.000
HA DIKUASAI SUMALINDO GROUP
7.
540.000 HA DIKUASAI PT DAYA SAKTI GROUP
8.
380.000
DIKUASAI RAJA GARUDA MAS GROUP
BAGAIMANA SOLUSI PARADIGMATIKNYA ??? DIKAJI DAN DIKEMBANGKAN DALAM KULIAH
TERAKHIR DI BAWAH INI.
SOLUSI:
MEMPERTAHANKAN MUTIARA ORANG DESA:
ETIKA KOMUNITAS PEDESAAN
|
NEGARA BERKEMBANG
|
PEASANT
|
ETIKA SUBSISTEN
|
DALAM TINJAUAN RURAL SOCIOLOGY
|
NEGARA MAJU
|
PEASANT STUDIES (POLITIK DAN
KEBUDAYAAN, RURAL AGRUCULTURE DEVELOPMENT (EKONOMI POLITIK)
|
ETIKA KAPITALIS
|
FARMER
|
ETOS DAN
PANDANGAN HIDUP:
Sebuah Local Knowledge
ETOS
|
SOCIAL ENVIRONMENT (LINGKUNGAN SOSIAL)
|
SELF EXISTENCE (DIRI SENDIRI)
|
PANDANGAN HIDUP
|
ETIKA
|
LOGIKA
|
SISTEM NILAI BUDAYA
|
SISTEM KEYAKINAN
|
ECOLOGICAL
CONDITION(ALAM SEKITAR)
|
CULTURAL
CONDITION(LINGKUNGAN SOSIAL)
|
ESTETIKA
|
BAHAN KULIAH
SOSIOLOGI PEDESAAN
Oleh:
DRS. PERIBADI, M.SI
Beberapa Tulisan Ilmiah
Populer Dapat dilihat:
JURUSAN
SOSIOLOGI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
DAN
ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
HALUOLEO
KENDARI
2011
PROLOG:
REALITAS KEBUDAYAAN
ETIKA KOMUNITAS (PETANI)
|
NEGARA MAJU
|
NEGARA BERKEMBANG
|
FARMER
|
PEASANT
|
ETIKA
SUBSINTEN
|
ETIKA KAPITALIS
|
DALAM TUNJAUAN RURAL SOCIOLOGi
|
PEASANT STUDIES (POLITI, DAN
KEBUDAYAAN) RURAL AGRICULTURE DEVELOPMENT (EKONOMI POLITIK)
|
ETOS
|
SISTEM NILAI BUDAYA
|
ETIKA
|
LOGIK
|
ESTETIK
|
PANDANGAN HIDUP
|
SISTEM KEYAKINAN
|
ECOLOGICAL CONDITION (ALAM SEKITAR)
|
CULTURAL CONDITION (LINGKUNGAN BUDAYA)
|
SELF EXISTENCE (DIRI SENDIRI)
|
SOCIAL ENVIRONMENT (LINGKUNGAN SOSIAL)
|
ETOS: SISTEM
NILAI SOSIAL BUDAYA YANG MENGHUBUNGKAN HAL-HAL YANG BAIK DAN BURUK
(ETIKA), INDAH DAN JELEK (ESTETIKA)SERTA BENAR DAN SALAH (LOGIKA)
|
PANDANGAN HIDUP:
SISTEM KEYAKINAN MENGENAI ALAM SEKITAR, LINGKUNGAN SOSIAL, LINGKINGAN
BUDAYA DAN MENGENAI DIRINYA SENDIRI
|
TUHAN
|
MANUSIA
|
MANUSIA
|
MANUSIA
|
INDIVIDU
|
MASYARAKAT
|
MASYARAKAT KONSUMER
|
MASYARAKAT DIAM/BISU
|
MASYARAKAT TONTONAN
|
MASYARAKAT
TRANSPARAN
|
MASYARAKAT EKSTASE
|
ETOS DAN PANDANGAN HIDUP INI
TERTUAN KEPADA: 7 UNSUR KEBUDAYAAN UNIVERSAL
|
UNGKAPAN BAHASA
|
SISTEM TEKNOLOGI
|
SISTEM EKONOMI
|
SISTEM KEKERABATAN
|
SISTEM PENGETAHUAN
|
SISTEM RELIGI
|
KESENIAN
|
BAB I
Revolusi Hijau di perdesaan
Sejak pembangunan pertanian
mulai digencarkan ke daerah pedesaan terutama di pedesaan Jawa di tahun
1970-an, terdapat dua pandangan yang bertolak belakang dalam melihat pengaruh
pembangunan pertanian terhadap perubahan sosial di pedesaan. Pertama, persebaran teknologi
pertanian moderen ke daerah pedesaan selama ini telah meningkatkan jumlah buruh
tani tak bertanah, sehingga tercipta polarisasi. Kedua, persebaran
teknologi moderen justru telah menghasilkan pemerataan ekonomi sehingga tidak
menimbulkan polarisasi, melaingkan justru mendorong pelipatgandaan lapisan
petani dalam struktur berspektrum kontinum atau stratifikasi.
Perdebatan tentang perubahan
masyarakat desa terutama di Jawa bermula dari hasil penemuan Geertz di tahun
1950-an. Inti gagasannya bahwa kebijakan politik ekonomi tanam paksa oleh
Pemerintah Belanda telah menyebabkan terjadinya proses involusi dan shared
of poverty. Maksud dari pandangan ini bahwa dampak dari kebijakan
Pemerintah Belanda tidak mengakibatkan masyarakat desa terbagi menjadi lapisan
(kaya-miskin) sebagaimana umumnya yang terjadi di semua negara berkembang. Hal
ini terjadi, karena budaya komunitas pedesaan mengandung potensi homogenitas
sosial yang egaliter dan simetris (Wahono, 1994). Inilah yang
sesungguhnya dimaksud Scott (1985), bahwa tindakan petani tadisional didasarkan
pada prinsip-prinsip moral. Keputusan penting dalam kegiatan
sosial-ekonomi bertumpuh pada moral subsistensi, bukan atas dasar
prinsip rasional sebagaimana yang dikembangkan oleh pihak ekonom klasik dan neo-klasik.
Akann tetapi, kemana nyasarnya homogenitas dan solidaritas itu?
Ketika pemerintah Orde Baru
melancarkan revolusi hijau ke daerah pedesaan, tampaknya pandangan Geertz ini
mendapat tanggapan dari banyak ahli. Diantaranya Collier dkk (1974)
mengemukakan bahwa revolusi hijau tersebut telah menciptakan proses evolusi,
sehingga sistem kelembagaan egaliter masyarakat desa menjadi semakin
tertutup yang pada gilirannya dapat menimbulkan kesenjangan dan polarisasi
sosial di pedesaan. Hal ini terjadi karena ada kesempatan bagi petani
berlahan luas untuk sukses menjadi kelas komersial yang dapat mengabaikan
loyalitas kepada petani yang sebelumnya sama-sama miskin. Tentu saja dalam
waktu lama masyarakat desa menjadi terpolarisasi, sehingga potensi homogenitas
sosial yang merupakan mutiara komunitas pedesaan menjadi pudar.
Pandangan Collier yang sejalan
dengan para penganut teori ekonomi radikal Marxis, cenderung melihat ekonomi
berskala dalam teknologi moderen sebagai penyebab utama terciptanya polarisasi.
Meskipun ada sebagian ahli yang kemudian berpaling lagi kepada pandangan Geertz,
karena menurutnya, tidak terdapat banyak bukti bagi pandangan pertama. Namun
bagi Hayami dan Kikuchi (1987) yang coba meminggirkan sedikit perhatian,
menyebutkan bahwa kesenjangan di pedesaan bukan disebabkan oleh teknologi,
karena teknologi bersifat netral, akan tetapi disebabkan oleh persebaran
teknologi yang kurang maju sehingga kurang cepat mengejar pertumbuhan
penduduk yang terjadi.
Diisyaratkan pula oleh
beberapa penantang kaum struktural bahwa dinamika ekonomi sosial desa yang
menjurus kepelapisan (kalau tidak ingin disebut polarisasi), adalah bukan
karena sekedar hadirnya revolusi teknologi biologi dan kimiawi, tetapi juga
dikondisikan oleh tingginya lonjakan jumlah penduduk serta menyusupnya
sistem kapitalis di pedesaan. Pandangan ini diperkuat oleh hasil penelitian
Amalauddin (1987) bahwa struktur dan kelembagaan sosial masyarakat memang cukup
memiliki kekuatan untuk membendung kecenderungan terjadinya polarisasi. Apakah
masih ada benarnya statemen Amaluddin ini?
Pasalnya, hasil penelitian Penulis
tentang “Dinamika Ekonomi Sosial Desa-Desa Pantai” (2002) terhadap nelayan Bajo
yang berdomisli di sepanjang pesisir pantai Kecamatan Soropia, menemukan
antitesis dari hasil penelitian Amaluddin tersebut. Komunitas nelayan Bajo yang
terpola dalam struktur punggawa dan sawi, telah terjadi polarisasi yang tampak
menganga lebar antara kaum punggawa yang mampu mengakses bahan-bahan peledak
yang dirakit untuk menjadi alat penangkap ikan, dengan mereka yang selaku sawi
yang hanya bermodalkan daya enersi otot. Demikian pula hasil penelitian La Ode
Monto Bauto (2002) tentang “Etos dan Pandangan Hidup Komunitas Nelayan” di
lokasi yang sama, juga ditemukan secara jelas bahwa orang Bajo yang memiliki
mutiara kehidupan sosial yang tercantum dalam etos dan pandangan hidupnya,
telah mengalami degradasi nilai dan norma sosial. Karena di dalam pandangan
hidup tersebut, berintikan bahwa “merusak alam adalah berarti merusak diri
sendiri”. Namun dengan penggunaan bom ikan, adalah berarti mereka tidak lagi
menghayati etos dan pandangan hidup dimaksud.
Karena itu menurut Wahono
(1994) bahwa diskusi mengenai pertumbuhan dan pemerataan hanya dapat dimengerti lebih kaya bila
digelar dalam alur pencarian jawab akan dinamika ekonomi sosial desa.
Hal ini hanya dapat dijawab dalam struktur pelapisan masyarakat antara mereka
yang dapat dikatakan patron sebagai orang yang hidupnya melampaui garis
kecukupan dengan mereka yang dikatakan klien sebagai orang yang hidup
diambang atau masih jauh di bawah kecukupan.
Untuk memahami dinamika
tersebut, Wahono mencoba mengadaptasi kerangka teori dualisme ekonomi sosial
Boeke, yakni: (1) pranata ekonomi sosial yang dualistis telah terjadi di tengah
pedesaan Jawa akibat semakin merajalelanya unsur-unsur sistem ekonomi kapitalis
dalam bentuk meningkatnya komersialisasi dan penggunaan teknologi tinggi dari
proses revolusi hijau; (2) pranata dualistis tersebut memisahkan perilaku
ekonomi sosial, di satu kutub petani berlahan luas dengan motivasi pemaksimalan
hasil panen padi dan penanaman modal lewat pembelian tanah dan sumber daya
pendidikan anak, dan di lain kutub dari petani berlahan sempit atau tunakisma
dengan motivasi pertahanan hidup dan pengambilan modal pinjaman guna membiayai
ongkos produksi dan kebutuhan sosial; (3) dengan hadirnya tekanan penduduk atas
tanah dan ekonomi politik makro yang memberat ke pendulum modal, maka pranata
dualistis yang telah didorong kelahirannya oleh revolusi hijau dalam praktek,
di satu pihak meningkatkan perolehan ekonomis petani berlahan luas, di lain
pihak memperkecil peroleh ekonomis petani berlahan sempit atau tunakisma; dan
(4) Mekanisme demikian pada gilirannya menggeser petani berlahan sempit ke
sektor dan sub sektor non-sawah yang lebih sedikit hasilnya dengan sekaligus
menggandakannya ke sektor kaitan yang lebih memberikan peluang, meningkatkan
proporsi kerja wanita dan anak untuk mencari nafkah, mengggantikan semangat
hubungan keadatan dan kemasyarakatan sekitar tanah dan tenaga dari pemerataan patron-clien keperhitungan untung rugi,
menaikkan migrasi sekuler maupun permanen, melemahkan kerajinan rumah tangga,
memunculkan perantara dan agen ekonomi desa, memperburuk defesit ekonomi rumah
tangga alias meningkatkan utang, meredam potensi resistansi keseharian dan
menggembosi lembaga-lembaga inisiatif lokal.
Meskipun menurut hasil
penelitian Trijono (1994) dalam kesimpulannya disebutkan bahwa terjadinya
polarisasi di pedesaan Jawa adalah bukan polarisasi yang ditentukan oleh konsentrasi
pemilikan tanah sebagaimana sering dikemukakan oleh penganut ekonomi politik
radikal. Tetapi lebih merupakan polarisasi yang terjadi sebagai konsekwensi
semakin tergantungnya ekonomi desa kepada ekonomi luar desa atau perekonomian
nasional. Dalam hal ini polarisasi akan berkembang jika kesempatan hidup di
luar pertanian semakin terbatas menampung mereka yang tergeser dari pertanian.
Dengan kata lain, polarisasi yang berkembang bukan konflik kelas antara pemilik
tanah dengan buruh tani sebagai akibat kontradiksi internal dalam organisasi
produksi pertanian. Tetapi lebih merupakan konflik yang terjadi karena semakin sempitnya
katub penyelamat dan terbatasnya peluang untuk memperoleh sumber ekonomi
dari luar pertanian. Tentu saja fenomena tersebut agak sulit dipisahkan atau
dibedakan, karena banyak orang dari luar desa (petani berdasi) yang memiliki
tanah yang kemudian dipekerjakan kepada penduduk setempat. Hal ini berarti
merupakan polarisasi sebagai akibat dari konsentrasi pemilikan tanah antara
orang-orang kota dengan penduduk setempat.
BAB II
FENOMENA EKSPLOITASI AGRARIS
Tampaknya, eksploitasi agraris dari kaum kapitalistik
yang tampak lebih sistemik di dalam berbagai aspek kehidupan sosial, terlihat
dalam konstalasi hubungan antara negara dan masyarakat, terutama yang selama
ini berlangsung di dunia ketiga. Paling tidak, hal ini dapat ditelusuri melalui
tiga teori, yakni, teori ketergantungan, strukturalis semi otonom dan neo
klasik (Salman, 1996).
Pertama, teori ketergantungan
mempersepsikan bahwa negara ketiga tidak lebih dari perpanjangan tangan atau
kelas komparador kapitalisme internasional, yang melalui kekuasaan ekonomi
negara berkembang di kontrol dan diarahkan agar mengambil kebijakan pembangunan
yang sesuai dengan keinginan kapitalis internasional, sehingga kalau negara
berkembang ingin lebih mandiri menentukan kebijakan pembangunannya,
ketergantungan tersebut seyogyanya diputuskan.
Kedua, teori strukturalis semi otonom
mempersepsikan negara sebagai lembaga politik yang lebih otonom, dimana negara
dianggap lebih berperan sebagai penengah konflik antara berbagai kelompok
kepentingan sehingga dengan demikian pembangunan (oleh negara) dapat dipandang
sebagai upaya menggalang sumber daya untuk menengahi konflik yang terjadi
terutama antara kapital asing, kapital domestic, dan laipisan bawah masyarakat.
Ketiga, teori neo klasik memandang
negara sebagai pengambil keputusan ekonomi politik yang selalu bersandar pada
pertimbangan dan pilihan mekanisme pasar yang rasional, dimana kebijakan
ekonomi diputuskan berdasarkan pengaruh faktor teknologi, penduduk, pasar dan
pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat sehingga prilaku negara dianggap
berkisar pada pendayagunaan ekonomi nasional untuk memenuhi tuntutan pasar dan
kesejahteraan masyarakat.
Tampaknya, teori structural semi otonom menjadi lebih
relevan dalam melihat hubungan negara dan petani di era Orde Baru, karena: (1)
teori ini memperlihatkan latar belakang historis hubungan negara dan
masyarakat; (2) teori ini memberi tempat bagi konflik dalam eksistensi negara
dimana negara memperkuat kekuasaannya melalui peranan menengahi konflik antar
berbagai kelompok. (3) teori ini memperhatikan secara mendalam hubungan dinamis
saling mempengaruhi antara pemerintah dan masyarakat.
Peranan Negara dalam dinamika masyarakat petani pada Orde
Baru setidaknya dapat di lihat dalam tiga model politik pembangunan yang
diterapkan dalam kerangka pengintegrasian kawasan pedesaan kedalam negara.
Pertama, dalam format “pembangunan politik” Orde Baru menempuh
kebijakan “masa mengambang” dimana massa pedesaan diputuskan hubungannya
secara permanen dengan Partai Politik sehingga praktis sesudah itu massa petani
kehilangan kekuatan politiknya. Kebijakan ini didasari pengalaman masa
pemerintahan orde lama dimana kontrol negara terhadap masyarakat tani begitu
lemah sehingga massa petani menjadi ajang pertarungan pengaruh dan dukungan
bagi Partai Politik seperti PNI, Masyumi, NU, dan PKI, Dengan mengasingkan pedesaan
dari dunia politik, Orde Baru dapat menjamin stabilitas politik dan melalui
kontrol dan mobilisasi politik dari bawah yang dipercayakan kepada aparat
negara ditingkat desa.
Kedua,
dalam pembangunan pertanian Orde Baru telah menjalankan Revolusi Hijau melalui adopsi inovasi teknologi (pupuk sintesis,
bibit unggul, dan aplikasi pestisida) yang ditunjang oleh inovasi kelembagaan
(perkreditan, perkoperasian, kelompok tani dan Perkumpulan Petani Pemakai
Air-P3A) dan perangkat fisik (irigasi dan jalan tani), dengan target utama pada
pencapaian dan pelestarian swasembada beras demi stabilitas sosial, ekonomi dan
politik.
Ketiga, dalam pembangunan desa, negara telah mengalirkan sejumlah
proyek ke pedesaan guna perbaikan infrastruktur fisik pedesaan (jalan, jembatan,
gedung sekolah, puskesmas, kantor aparat desa dan sebagainya), atau proyek
lainnya seperti “Pengembangan Kawasan Terpadu” (PKT) dan “Inpres Desa
Tertinggal (IDT) dengan fokus pada pengentasan kemiskinan.
BAB
III
FENOMENA
ORANG KENYANG DAN LAPAR TANAH
PROLOG. Pada zaman kehidupan tradisional, hubungan sosial antar strata sosial didasari dengan pola hubungan feodalisme yang merupakan interaksi dan interrelasi sosial antara kaum bangsawan sebagai raja yang dipertuankan dengan rakyat jelata sebagai hamba sahaja.
Namun dalam zaman pembangunan dewasa ini, tampak masih
terselubung pola kehidupan sosial yang menunjukkan pola hubungan tuan moderen
yang kaya “(the have)” dengan
orang-orang yang terkapar, miskin bodoh dan terbelakang “(the have not)”. Betapa
tidak, mereka yang kaya dengan segudang harta atau memiliki investasi yang
selangit dan sebumi, praktis akan menempati posisi terpandang sebagaimana kaum
elit (baginda maha raja) di masa lalu. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak
bermodalkan sesuatu, kecuali potensi otot, dengan terpaksa akan menjadi buruh,
kuli, dan pekerja kepada mereka yang memiliki harta yang berlebihan sebagaimana
para budak dan para abdi kerajaan di masa lalu.
Ada sinyalemen yang pernah berkembang di pinggir kajian
ilmiah bahwa di Indonesia, terdapat seorang konglomerat yang memilki tanah
seluas negara Swiss. Kalau ocehan ini benar, maka ada baiknya kita hentikan
kajian permasalaham kemiskinan di Republik tercinta ini, sehingga enersi
berpikir, meneliti dan menulis tidak terbuang percuma sekaligus tidak membual
lagi dengan modifikasi ilmiah yang nota-bene penuh kepalsuan dan kebohongan.
Kalau sinyalemen dimaksud kurang meyakinkan kebenarannya,
maka ada baiknya kita renungkan fenoma ketimpangan distribusi tanah antara
segolongan minoritas yang sering digelar “konglomerat” dengan rakyat
kebanyakan. Semoga dapat menyentak naluri keilmuan kita atas keberadaan manusia
super sinting serta meyintingkan banyak orang ini, yakni sejumlah hutan
belantara yang sudah dikuasai dan dipoya-poyakan hasilnya oleh 12 grup besar
melalui 109 perusahannya.
DIALOG. Pertanyaan singkat yang mungkin mampu kita hembuskan ke
permukaan, adalah mengapa ketimpangan agraris seperti ini bisa terjadi di
tengah masyarakat, bangsa dan negara yang katanya - dihuni oleh manusia-manusia
“Pancasilais”
? Bagaimana skenarionya, dan latar socio-historisnya, sehingga ada hamba Tuhan
di bumi persada Indonesia ini, dilahirkan dengan sugudang investasi. Sementara,
dari Sabang hingga Marauke, terhampar segeromobolan anak manusia yang miskin
papa dan terkadang lapar seminggu dan makan sehari saja ? Sekali lagi, mengapa
bisa terjadi ? Tentu saja masih banyak hal yang patut dipertanyakan untuk
dikaji serta dicarikan solusi alternatifnya, Akan tetapi, tak apalah, karena
pasti pembaca kelak dapat mengurangi kemiskinan ide yang tercantum dalam
tulisan ini.
Meskipun banyak kekurangan yang berserakan di sana-sini,
namun uraian ini dapat memberi kontribusi dalam bentuk pra-konseptual dari
sudut pandang sosiologi pedesaan pada umumnya dan sosiologi agraria pada
khususnya yang memang masih tampak minim dikaji sehubungan dengan upaya
pemanfaatan lahan pertanian secara adil. Disamping itu, dapat
menjadi bahan informasi penting bagi pemerintah dalam kerangka memberdayaakan
kehidupan petani yang tertindas dan terkalahkan, sehingga tidak terjadi
kesenjangan sosial, ekonomi dan politik sebagai akibat dari ketimpangan
struktur agraria yang menyebabkan banyak petani kehilangan tanah, dan bahkan
cenderung menjadi budak dari orang-orang yang kenyang tanah. Akhirnya, semoga
renungan awal ini dapat menjadi bahan masukan yang sangat berguna bagi
departemen pertanahan dalam upaya mencegah konflik tanah dengan berbagai dampak
yang mungkin bisa terjadi, sebagaimana yang telah terjadi di berbagai belahan
bumi ini, terutama di belatara pedesaan Jawa pasca revolusi hijau.
Karena itu, marilah kita mulai
bertekad menelusuri dalam perspektif sosiologi agraria mengenai konsepsi
pemilikan segudang tanah pada sekelompok minoritas tertentu yang kenyang tanah
dan mayoritas petani yang berlahan sempit, tidak memiliki tanah dan lapar
tanah. Semoga pula dengan prakonsepsi ini, ada diantara kita terdorong meneliti
serta mengkaji peranan kaum buruh tani, petani gurem, petani kenceng, penggarap
tanah, penyewa tanah, penyakap dan paddare terhadap upaya pemanfaatan lahan
tidur yang sangat luas terbentang di jazirah Sulawesi Tenggara.
A.
Latar Sosio-Historis Kepemilikan
Berbagai latar belakang seseorang atau sekelompok orang
memiliki tanah baik tanah yang luas maupun yang sempit berupa tanah sawah, ladang,
dan pekarangan. Dengan perkataan lain
seseorang menjadi kaya dengan tanah yang luas serta sekelompok orang menjadi
miskin dan lapar tanah, dapat dikaitkan dengan etos kerja masing-masing yang
bersangkutan. Akan tetapi, menurut Poedja (1990) bahwa jika ditinjau dari segi
status pemilikan tanah, maka latar belakang pemilikan tanah tersebut dapat
dikategorikan sebagai berikut:
1. Pemilikan
secara perorangan
2. Pemilikan
tanah secara komunal seperti desa adat, pura dan lain-lain yang kemudian dapat
dibedakan menjadi pemilikan tanah melalui: (a) penghibahan; (b) transaksi
jual-beli; (c) penukaran; (d) pewarisan; dan (e) melalui kedaluwarsaan.
Lebih
lanjut Poedja (1990) menyebutkan bahwa terdapat beberapa pranata sosial yang berkaitan erat dengan latar belakang
tanah tersebut di atas. Pertama,
dalam konteks masyarakat tradisional pengaruh pranata politik masih belum
tampak secara jelas, karena areal pertanahan pada saat itu sangat luas. Namun
setelah kurun waktu modernisasi pembangunan nasional, terutama pada saat
berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, mulai muncul masalah-masalah politik
yang erat kaitannya dengan kepartaian yang terjadi menjelang meletusnya
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dikenal dengan peristiwa
G.30.S/PKI pada tahun 1965.
Kedua,
penerapan pranata-pranatan religi secara operasional nampak dalam penggunaan
tanah untuk komudite pertanian khususnya bagi orang Bali. Akan tetapi konsepsi
tentang tanah bagi orang Bali misalnya banyak dipengaruhi oleh nilai adat dan agama yang terlihat secara
jelas dalam kehidupan masyarakat desa khususnya subak sebagai suatu organisasi
tradisional yang bergerak dalam bidang pengairan. Di Bali juga ada yang disebut
Gumi atau Megumi yang berarti tanah atau desa sebagai tempat tinggalnya.
Ketiga, proses
pemilikan tanah yang didasari oleh untung rugi jual beli atau transaksi tanah
secara murah antara seseorang yang memiliki kekayaan tertentu dengan petani
miskin yang ingin memenuhi berbagai macam jenis kebutuhannya. Kini, telah
menjadi kenyataan pahit di hampir seluruh pedesaan Jawa Pasca Revolusi Hijau.
Seperempat abad Revolusi Hijau di Jawa, selain telah memecahkan teka-teki
pertumbuhan produksi pangan, khususnya beras, juga makin menggoyahkan pranata
distribusi “pemerataan patron-klien”.
Keempat, latar
belakang alamiah yang pada umumnya terjadi di seluruh lapisan masyarakat adalah
pemilikan tanah karena faktor ahli waris, harta warisan dan pembagian warisan.
Demikian pula menyangkut pemilikan tanah yang luas oleh seseorang yang selaku
keturunan bangsawan, karena faktor tanah adat.
B.
Fenomena Perbudakan
Hubungan
antara pemilik dan penggarap merupakan hubungan kelas yang bersifat hubungan
antara bapak dan pendukung (Patron-Client
Relationship). Tetapi dalam perasaan masyarakat sendiri hubungan itu
dianggap sebagai hubungan tolong menolong diantara mereka yang didasari azas
kekeluargaan. Jika demikian, agak sulit tentunya mengklaim bahwa di dalam
hubungan sakap menyakap terkandung unsur perbudakan.
Ikatan
antara pelindung (patron) dan klien, satu bentuk asuransi sosial yang
terdapat di mana-mana di kalangan petani Asia Tenggara, merupakan satu langkah
jauh lainnya dalam jarak sosial dan seringkali moral, teristimewa apabila sang
pelindung bukan warga desa. Apakah ia seorang tuan tanah, seorang pejabat kecil
atau seorang pedagang, seorang patron menurut defenisinya adalah orang yang
berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya. Meskipun klien-klien
seringkali berusaha sebisa-bisanya untuk memberikan arti moral kepada hubungan
itu, oleh karena kedudukan mereka dalam menghadapi patron seringkali lemah
sekali—patronase itu ada segi baiknya, bukan pertama-tama karena dapat
diandalkan melainkan mengingat sumberdayanya.
Secara
lebih konseptual, menurut Kikuchi (1987) ada empat macam hubungan banyak benang
yang dapat merupakan landasan bagi perjanjian sosial yang lebih langgeng,
yakni: (1) diadik dan horisontal; (2) poliadik dan horisontal; (3) diadik dan
vertikal; dan (4) poliadik dan vertikal. Hubungan diadik dan horisontal
merupakan ikatan-ikatan persahabatan atau ketetanggaan, dimana rumah
tangga-rumah tangga mengadakan banyak ikatan yang beraneka-ragam dan
berualang-ulang, mulai dari ikatan tolong menolong dalam produksi sampai pada
saling memberikan perlakuan istimewa. Sementara hubungan poliadik dan
horisontal adalah hubungan dalam komunitas yang berdasarkan pada persamaan dan
pemerataan. Komunitaslah yang memegang peranan penting atau yang memegang
domain tertinggi dan individu tidak boleh menjual, menggadaikan atau
memindahtangankan bagian tanah komunitasnya kepada orang luar. Dua puluh tahun
yang lampau, persoalan pertanahan adalah menyangkut hubungan khusus dan patron
clien yang dominan mewarnai hubungan antara petani pemilik tanah luas dan petani
gurem dan buruh tani, sehingga hampir setiap persoalan tanah yang muncul dalam
suatu desa dapat teredam. Namun pada saat ini persoalan tanah telah berubah
sifatnya, yang terlibat dalam persoalan tanah, bukan lagi pemilik tanah desa
melawan buruh tani, tetapi antara pemilik modal besar melawan pemilik tanah
setempat baik yang ada di desa maupun di kota, dan antara pemerintah dan
pemilik tanah di kota atau di desa.
Karena
itu, menurut Rajagukguk (1995) bahwa dalam kenyataannya, land reform tidak dijalankan sebagaimana mestinya atau sebagaimana
yang dimaksudkan, karena sedikitnya tiga sebab: (1) beberapa pasal dari
Undang-Undang terserbut sulit diterapkan; (2) kondisi sosial, politik dan
ekonomi tidak mendukung pelaksanaan program ini; dan (3) menurut rumusan yang
dibuat lebih dari ¼ abad yang lalu (1960), tidak ada cukup tanah di Jawa untuk
dibagikan kepada semua petani yang tidak memiliki tanah. Pada akhirnya,
gagalnya pelaksanaan land reform
menjadi tragedi dalam sejarah Indonesia. Hal inilah yang menjadi penyebab
menjamurnya gejala perbudakan dengan berbagai dampak yang ditimbulkan.
EPILOG. Menurut Rajagukguk (1995) bahwa sejak Indonesia mencapai kemerdekaanya di tahun 1945, setidaknya ada dua masalah yang mendasar dalam hukum tanah kita, yakni: (1) meliputi masalah kepemilikikan tanah yang tidak proporsional dan kebutuhan tanah yang semakin meningkat di pulau Jawa yang kecil dengan penduduknya yang terus bertambah. Soal-soal tersebut memunculkan masalah land reform, distribusi tanah, bagi hasil, dan hubungan sewa menyewa antara pemilik tanah dan penggarap; dan (2) masalah tersebut melahirkan ide perlunya pembaruan dalam hukum tanah itu sendiri.
Karena
itu upaya pemecahan masalah pertanahan dalam tinjauan sosiologis, adalah
pemecahan yang harus dimulai dengan menganalisa hubungan antar segelintir
golongan atau lapisan masyarakat yang menguasai tanah dengan mayoritas petani
yang berlahan sempit atau tidak memilki tanah. Persoalannya, di tengah
kehidupan komunitas petani, terdapat struktur penguasaan tanah yang tidak
seimbang, sehingga bagi lapisan yang penguasaan tanahnya luas, seringkali
berlaku sewenang-wenang terhadap kaum petani yang lemah. Sebaliknya, mereka
yang tunakisma cenderung bergantung dan bahkan menjadi budak.
Namun
hingga saat ini, mulai dari paradigma pembangunan, perancang pembangunan,
pelaksana pembangunan itu sendiri, sampai pada proses pelaksanaan di lapangan
dengan berbagai mekanismenya, semuanya bersifat “top down”. Demikian pula kalangan akademisi, terutama ilmuawan
sosial, cenderung dan lebih terfokus pada orang yang “the have”. Dalam artian kita semua cenderung memperhatikan atau
mempermasalahkan “kemiskinan”, yang seolah-olah kita tidak ingin dipusingkan
dengan proses “pemiskinan”. Padahal, harus diakui oleh para ahli pembangunan
bahwa kaum miskin hanya dapat ditolong dengan sungguh-sungguh kalau sumber
kekayaan kaum atas dikurangi secara struktural, sebab kekayaan para elit
berasal dari orang miskin sebagai buruhnya.
Revolusi Hijau di perdesaan
Kuliah Sosiologi
Pedesaan, Fisip Unhalu, 2010
Oleh
Peribadi
(Staf Pengajar
Program Studi Sosiologi Fisip Unhalu)
Sejak pembangunan
pertanian mulai digencarkan ke daerah pedesaan terutama di pedesaan Jawa di
tahun 1970-an,
terdapat dua pandangan
yang bertolak belakang dalam melihat pengaruh pembangunan pertanian
terhadap perubahan sosial
di pedesaan.
Pertama, persebaran teknologi
pertanian moderen ke daerah pedesaan selama ini telah meningkatkan jumlah buruh
tani
tak bertanah, sehingga
tercipta polarisasi.
Kedua, persebaran teknologi
moderen justru telah menghasilkan pemerataan ekonomi sehingga tidak menimbulkan
polarisasi, melaingkan justru mendorong pelipatgandaan lapisan petani dalam
struktur berspektrum kontinum atau stratifikasi.
Perdebatan tentang perubahan masyarakat desa terutama di
Jawa bermula dari hasil penemuan Geertz di tahun 1950-an.
Inti gagasannya bahwa kebijakan politik ekonomi tanam
paksa oleh Pemerintah Belanda telah menyebabkan terjadinya
proses involusi dan shared of poverty.
Maksud dari pandangan ini bahwa dampak dari kebijakan
Pemerintah Belanda tidak mengakibatkan masyarakat desa terbagi menjadi lapisan
(kaya-miskin)
sebagaimana umumnya yang terjadi di semua negara
berkembang. Hal ini terjadi, karena budaya komunitas pedesaan mengandung
potensi homogenitas sosial yang egaliter dan simetris
(Wahono, 1994).
Inilah yang sesungguhnya dimaksud Scott (1985),
bahwa tindakan petani tadisional didasarkan pada prinsip-prinsip
moral. Keputusan penting dalam kegiatan sosial-ekonomi bertumpuh pada moral
subsistensi, bukan atas dasar prinsip rasional sebagaimana yang
dikembangkan
oleh pihak ekonom klasik dan neo-klasik.
Akan tetapi,
kemana nyasarnya homogenitas dan solidaritas itu ?
Ketika pemerintah Orde Baru melancarkan revolusi hijau
ke daerah pedesaan, tampaknya pandangan Geertz ini
mendapat tanggapan dari banyak ahli.
Diantaranya Collier dkk (1974) mengemukakan bahwa
revolusi hijau tersebut telah menciptakan proses evolusi, sehingga
sistem kelembagaan egaliter masyarakat desa menjadi semakin tertutup
yang pada gilirannya dapat menimbulkan kesenjangan dan polarisasi
sosial di pedesaan.
Hal ini terjadi karena ada kesempatan bagi petani
berlahan luas untuk sukses menjadi kelas komersial yang dapat mengabaikan
loyalitas kepada petani yang sebelumnya sama-sama miskin. Tentu saja dalam
waktu lama masyarakat desa menjadi terpolarisasi, sehingga potensi homogenitas
sosial yang merupakan mutiara komunitas pedesaan menjadi pudar.
Pandangan Collier yang sejalan dengan para penganut teori ekonomi radikal
Marxis, cenderung melihat ekonomi berskala dalam teknologi moderen sebagai
penyebab utama terciptanya polarisasi. Meskipun ada sebagian ahli yang kemudian
berpaling lagi kepada pandangan Geertz, karena menurutnya, tidak terdapat
banyak bukti bagi pandangan pertama.
Namun bagi Hayami dan Kikuchi (1987) yang coba meminggirkan sedikit
perhatian, menyebutkan bahwa kesenjangan di pedesaan bukan disebabkan oleh teknologi,
karena teknologi bersifat netral, akan tetapi disebabkan oleh persebaran
teknologi yang kurang maju sehingga kurang cepat mengejar pertumbuhan
penduduk yang terjadi.
Diisyaratkan pula oleh beberapa penantang kaum struktural bahwa dinamika
ekonomi sosial desa yang menjurus kepelapisan (kalau tidak ingin disebut
polarisasi),
adalah bukan karena sekedar hadirnya revolusi teknologi biologi dan
kimiawi, tetapi juga dikondisikan oleh tingginya
lonjakan jumlah penduduk serta menyusupnya sistem kapitalis di pedesaan.
Pandangan ini diperkuat oleh hasil penelitian Amalauddin (1987) bahwa
struktur dan kelembagaan sosial masyarakat memang cukup memiliki kekuatan untuk
membendung kecenderungan terjadinya polarisasi. Apakah masih ada benarnya
statemen Amaluddin ini?
Pasalnya, hasil penelitian Penulis tentang “Dinamika Ekonomi Sosial
Desa-Desa Pantai” (2002) terhadap nelayan Bajo yang berdomisli di sepanjang
pesisir pantai Kecamatan Soropia, menemukan antitesis dari hasil penelitian
Amaluddin tersebut.
Komunitas nelayan Bajo yang terpola dalam struktur punggawa dan sawi, telah
terjadi polarisasi yang tampak menganga lebar antara kaum punggawa yang mampu
mengakses bahan-bahan peledak yang dirakit untuk menjadi alat penangkap ikan,
dengan mereka yang selaku sawi
yang hanya bermodalkan daya enersi otot.
Demikian pula hasil penelitian La Ode Monto Bauto (2002) tentang “Etos dan
Pandangan Hidup Komunitas Nelayan” di lokasi yang sama, juga ditemukan secara
jelas bahwa orang Bajo yang memiliki mutiara kehidupan sosial yang tercantum
dalam etos dan pandangan hidupnya, telah mengalami degradasi nilai dan norma
sosial. Karena di dalam pandangan hidup tersebut, berintikan bahwa “merusak
alam adalah berarti merusak diri sendiri”. Namun dengan penggunaan bom ikan,
adalah berarti mereka tidak lagi menghayati etos dan pandangan hidup dimaksud.
Karena itu menurut Wahono (1994) bahwa diskusi mengenai
pertumbuhan dan pemerataan hanya dapat
dimengerti lebih kaya bila digelar dalam alur pencarian jawab akan dinamika
ekonomi sosial desa. Hal ini hanya dapat dijawab dalam struktur pelapisan
masyarakat antara mereka yang dapat dikatakan patron sebagai orang yang
hidupnya melampaui garis kecukupan dengan mereka yang dikatakan klien sebagai
orang yang hidup diambang atau masih jauh di bawah kecukupan.
Untuk memahami dinamika tersebut, Wahono mencoba
mengadaptasi kerangka teori dualisme
ekonomi sosial Boeke,:
(1) pranata ekonomi sosial yang dualistis telah terjadi
di tengah pedesaan Jawa akibat semakin merajalelanya unsur-unsur sistem ekonomi
kapitalis dalam bentuk meningkatnya komersialisasi dan penggunaan teknologi
tinggi dari proses revolusi hijau;
(2) pranata dualistis tersebut memisahkan perilaku
ekonomi sosial, di satu kutub petani berlahan luas dengan motivasi pemaksimalan
hasil panen padi dan penanaman modal lewat pembelian tanah dan sumber daya
pendidikan anak, dan di lain kutub dari petani berlahan sempit atau tunakisma
dengan motivasi pertahanan hidup dan pengambilan modal pinjaman guna membiayai
ongkos produksi dan kebutuhan sosial;
(3) dengan hadirnya tekanan penduduk atas tanah dan
ekonomi politik makro yang memberat ke pendulum modal, maka pranata dualistis
yang telah didorong kelahirannya oleh revolusi hijau dalam praktek, di satu
pihak meningkatkan perolehan ekonomis petani berlahan luas, di lain pihak
memperkecil peroleh ekonomis petani berlahan sempit atau tunakisma;
(4) Mekanisme demikian pada gilirannya menggeser petani
berlahan sempit ke sektor dan sub sektor non-sawah yang lebih sedikit hasilnya
dengan sekaligus menggandakannya ke sektor kaitan yang lebih memberikan
peluang, meningkatkan proporsi kerja wanita dan anak untuk mencari nafkah,
mengggantikan semangat hubungan keadatan dan kemasyarakatan sekitar tanah dan
tenaga dari pemerataan patron-clien
keperhitungan untung rugi, menaikkan migrasi sekuler maupun permanen,
melemahkan kerajinan rumah tangga, memunculkan perantara dan agen ekonomi desa,
memperburuk defesit ekonomi rumah tangga alias meningkatkan utang, meredam
potensi resistansi keseharian dan menggembosi lembaga-lembaga inisiatif lokal.
Meskipun menurut hasil penelitian Trijono (1994) dalam
kesimpulannya disebutkan bahwa terjadinya polarisasi di pedesaan Jawa adalah
bukan polarisasi yang ditentukan oleh konsentrasi
pemilikan tanah sebagaimana sering dikemukakan oleh penganut ekonomi politik radikal.
Tetapi lebih merupakan polarisasi yang terjadi sebagai konsekwensi semakin tergantungnya ekonomi desa kepada ekonomi luar desa
atau perekonomian nasional.
Dalam hal ini polarisasi akan berkembang jika kesempatan
hidup di luar pertanian semakin terbatas menampung mereka yang tergeser dari
pertanian. Dengan kata lain, polarisasi yang berkembang bukan konflik kelas
antara pemilik tanah dengan buruh tani sebagai akibat kontradiksi internal dalam
organisasi produksi pertanian. Tetapi lebih merupakan konflik yang terjadi
karena semakin sempitnya katub penyelamat dan terbatasnya peluang untuk
memperoleh sumber ekonomi dari luar pertanian.
Tentu saja fenomena tersebut agak sulit dipisahkan atau
dibedakan, karena banyak orang dari luar desa (petani berdasi) yang memiliki
tanah yang kemudian dipekerjakan kepada penduduk setempat. Hal ini berarti
merupakan polarisasi sebagai akibat dari konsentrasi pemilikan tanah antara
orang-orang kota dengan penduduk setempat.
SAYA MAS JOKO WIDODO DI SURABAYA.
BalasHapusDEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI KANJENG DIMAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI KANJENG DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....
…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI KANJENG…
**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..
…=>AKI KANJENG<=…
>>>085-320-279-333<<<
SAYA MAS JOKO WIDODO DI SURABAYA.
DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI KANJENG DIMAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI KANJENG DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....
…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI KANJENG…
**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..
…=>AKI KANJENG<=…
>>>085-320-279-333<<<